Sejak berkembangnya pelayanan
tari di kalangan gereja, mengakibatkan makin besar tuntutan yang di limpahkan
ke para penari gereja baik dari segi tehnik maupun segi penampilan atau
‘performance’. Makin banyak para penari-penari gereja yang rindu untuk
meningkatkan tehnik dan kreativitas demi memberikan yang terbaik buat gereja
mereka. Hal ini cukup baik, karena memang sebagai anak-anak Tuhan, kita harus
memberikan yang terbaik untuk Nya, karena Dia berhak mendapatkan yang terbaik.
Namun satu hal yang saya perhatikan, ada satu kecenderungan dimana beberapa
penari-penari gereja yang pernah saya kenal, nampaknya berjalan tanpa tujuan
yang tepat. Mereka nampaknya hilang dalam kehausan mereka sendiri akan
peningkatan tehnik dan penampilan tarian mereka.
Saya mengambil satu contoh
kasus yang pernah saya hadapi, dimana ada salah seorang penari yang belajar di
sekolah tari dimana saya belajar yaitu Mainstream School of Arts yang akhirnya
memutuskan belajar juga di sekolah tari ballet sekuler yang cukup terkenal
karena ia merasa kurang mendapatkan kebutuhan yang diinginkan dari Mainstream
School of Arts.
Kebetulan belakangan ini saya
di ajak oleh salah satu teman saya yang kebetulan seorang penari ballet klasik,
untuk ikut sebuah kelas perkenalan atau ‘trial class’ di sebuah sekolah ballet
yang baru saja buka di daerah Jakarta Selatan. Kebetulan salah seorang gurunya
adalah guru dari sekolah ballet sekuler yang dimana salah satu penari yang saya
ceritakan diatas belajar ballet. Singkat cerita, saya mengikuti kelas ballet
tersebut dari awal hingga akhir. Hal-hal yang di ajarkan tidak jauh berbeda
dengan apa yang saya dapatkan di Mainstream School of Arts. Ada satu sesi
dimana ini menjadi pengalaman yang lumayan lucu buat saya. ‘Turn out’ kaki saya diperbaiki oleh gurunya dengan cara memutar kaki
saya sehingga lutut saya menghadap keluar. Hal ini membuat saya teringat
kembali beberapa tahun dulu, di awal-awal ketika saya belajar dasar ballet
dengan Miss Murni. Dengan cara yang sama dulu dia memutar kaki saya untuk
mengajarkan saya posisi kaki ‘turn out’ yang benar. Pada saat itu saya langsung
berpikir: “Andai saja Miss Murni melihat kejadian ini, dia pasti akan tersenyum
simpul sambil berkata: benar kan yang saya ajarkan dulu?!” dan akhirnya membuat
saya tersenyum sendiri. Semua ‘basic ballet’ yang pernah saya pelajari baik
dari segi tehnik dan pengetahuannya kurang lebih sama, hanya saja di
pengembangan silabus nya saja yang sedikit berbeda.
Bahkan di akhir kelas, saya
mendapatkan suatu apresiasi dari sang guru. Ia memuji style ‘classical ballet’
saya dan cukup kagum dengan tehnik tari saya. Sempat guru tersebut bertanya
kepada saya siapa guru saya dan dari sekolah ballet mana saya belajar dan
tentunya saya menyebut Mainstream School of Arts dan memperkenalkan Miss Murni
sebagai guru saya. Komentar dari sang guru tersebut yang cukup membuat saya
terkesan adalah: “Guru kamu tentu seorang pengajar yang baik, karena hasilnya
di kamu cukup baik”.
Saya sempat berfikir, betapa
ironis nya keadaan ini. Semuanya seperti berputar-putar dalam satu lingkaran.
Kembali kepada mantan murid Mainstream School of Arts yang mengambil keputusan
untuk belajar ballet di sekolah sekuler, dimana guru sekolah ballet sekuler
tersebut memuji guru Mainstream School of Arts. Sempat terlintas di benak saya
sebuah pertanyaan: Apakah yang ia dapatkan di sekolah ballet lain yang ia tidak
dapatkan di Mainstream School of Arts? Bagaimana mungkin apa yang ia rasa dia
dapatkan di sekolah ballet lain, namun guru di sekolah ballet yang sama
memberikan apresiasi kepada guru Mainstream School of Arts?
Saya mengambil kesimpulan,
bahwa pada dasarnya semua kembali kepada diri penari atau diri murid
masing-masing. Tehnik tari ballet dimana-mana sama. Posisi badan harus tegak,
pundak turun kebawah, dagu tahan di posisi sejajar, garis leher harus sejajar
dengan haris tulang belakang, posisi kaki ‘turn out’ dengan tehnik lutut
mengadap kearah yang berlawanan dengan cara memutar paha dari bongkol tulang
yang terhubung di tulang panggul. Posisi kaki di 1st, 2nd,
3rd, 4th dan 5th position. Begitu juga dengan
posisi tangan. Walau mungkin tehnik pengajaran tiap masing-masing guru berbeda
dalam cara mengajarkannya ke murid.
Kita kembali lagi ke
pembahasan dimana banyak para penari gereja yang akhirnya sepertinya
‘wara-wiri’ berputar-putar, mencari-cari tempat sekolah tari, dimana ia bisa
meningkatkan kualitas tarinya dengan mengejar belajar di sekolah-sekolah tari
yang terkenal. Hal ini tidak salah, justru hal ini baik. Namum apabila dari
diri kita sendiri tidak memiliki kedisiplinan dan ketaatan untuk diajar oleh
pengajar kita, dimanapun kita belajar, baik disekolah tari yang sangat
terkenalpun di muka bumi ini, kualitas tehnik tari kita tidak akan berkembang
dan kita tidak akan bisa menjadi penari yang terbaik.
Hal lain yang akhirnya
menyebabkan para penari gereja yang pada akhirnya terkesan ‘hilang’ dalam
kehausannya untuk menaikan tehnik tarinya adalah ketidak tekunan si penari itu
sendiri dalam mendalami tarian. Kebanyakan dari mereka terbias oleh nama sebuah
sekolah tari yang terkenal atau sebuah nama pengajar yang terkenal, atau sebuah
grup tari terkenal, dengan harapan apabila mereka belajar di sekolah tersebut,
atau diajar oleh orang tersebut atau masuk dalam grup tersebut, mereka juga
akan menjadi sama ‘hebat’nya. Mereka tidak terpikir, bahwa sekolah tari, atau
pengajar, atau grup yang terkenal tersebut, mereka semua tidak mendapatkannya
dengan instant. Mereka juga menjalaninya dengan ketekunan hingga mencapai posisi
yang mereka dapatkan sekarang.
Memberikan yang terbaik
untuk-Nya, adalah suatu hal yang harus kita lakukan. Namun jangan sampai hal
tersebut membuat kita menjadi tersesat di tengah jalan, yang bisa merubah
motivasi kita menjadi berbeda dari movitasi awal kita. Disamping kita mencari
pengajaran yang terbaik untuk menjadi penari yang lebih baik lagi, hendaknya
kita juga belajar untuk disliplin, taat pada pengajaran yang kita dapatkan dan
tekun dengan apa yang kita pelajari.
GBU,
-Rivera Monarie-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar