Masih melekat di benak saya
pertama kali saya mendaftarkan diri di Mainstream School of Arts pada tahun
1998. Awalnya saya mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas Tamborin. Saya masih
ingat, pertama kali kelas saya diajarkan oleh Miss Lulu. Kemudian ditangani
oleh Kak Elsye, dan sempat ditangani juga oleh Kak Lusi sampai pada tahap
intermediate. Pada tahap intermediate, kelas saya beberapa kali sempat
ditangani oleh Kak Lily, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala sekolah dan
akhirnya ketika masuk ke tahap advance, kelas saya mulai ditangani oleh Miss
Murni. Pada waktu itu juga saya sempat mengambil kelas ballet basic, yang waktu
itu masih diberi nama “Worship Workshop” yang dimana pada waktu saya memasuki
tahap intermediate, kelas saya juga ditangani oleh Miss Murni.
Saya masih ingat betul
perjumpaan pertama saya dengan beliau. Rambutnya terkuncir satu di belakang
kepala, ia mengenakan seragam Mainstream, yaitu kaos putih yang ada lambang
Mainstream School of Arts di bagian dada sebelah kanannya, dan juga leotard
hitam, make-up lengkap menghiasi wajahnya yang kemudian akhirnya saya tahu
bahwa hal itu merupakan ‘trade mark’ dari Miss Murni.
Awal perjumpaan saya dengan
beliau, ia terkesan anggun dan keras. Membuat saya teringat akan tokoh di komik
atau cerita ballet, di mana hampir selalu digambarkan bahwa guru ballet itu
keras.
Tak kenal maka tak sayang,
ungkapan yang tepat yang bisa saya ungkapkan sekarang apabila saya mengingat
kembali kejadian itu. Setelah berjalan beberapa lama kelas kami di latih oleh
beliau, barulah kami bisa melihat sisi lain darinya. Memang, beliau terkenal
keras, tidak main-main, disiplin tinggi. Namun di balik itu semua, Miss Murni
adalah sosok guru yang bisa menjadi panutan buat para murid-muridnya. Ia cukup detail
dalam mengajarkan setiap tehnik tari kepada kami. Ditambah pengalamannya di
bidang pelayanan tari yang pada saat itu sudah hampir 10 tahun, ia juga banyak
membagikan ke kami murid-muridnya, pengalamannya dan nasihat-nasihatnya yang
dimana nasihat-nasihat tersebut masih menjadi pegangan saya pribadi.
Dari dialah saya juga mendapat
ilmu tak hanya ilmu tentang seni tari, tapi juga ilmu tentang seni itu sendiri.
Dengan pengetahuannya yang didapat ketika ia kuliah di Universitas Trisakti
jurusan design grafis, ia banyak mengajarkan apakah seni itu, kreativitas,
bagaimana kita bisa menilai suatu seni, bagaimana kita melihat suatu
kreativitas, bagaimana kita bisa memahami seni, dan sebagainya.
Salah satu contoh ilmu yang
saya dapatkan darinya adalah pemahaman tentang koreografi dan composisi warna.
Mungkin beberapa dari teman-teman yang pernah membaca artikel di blog saya
mengenai perlombaan tari yang pernah saya dan grup yang saya ikuti pada waktu
itu yang bernama: “Bunga dan Kaisar”, perlomban yang bernama: “Lomba Cipta dan
Koreografi II” pada tahun 2002, dimana kami ikut di satu kategori tarian
“Worship”. Saya pernah bercerita bahwa ada sedikit miskomunikasi dalam hal
pembuatan kostum tersebut. Kami cukup kaget ketika kostum tersebut datang
diantarkan ke kami pada pertama kalinya karena ternyata warna dari kostum
tersebut tidak sesuai dengan design awal. Kami sempat panik, tapi Miss Murni
hanya diam dan berfikir sejenak. Akhirnya setelah beberapa saat, ia berkat: “Jangan
khawatir, kalau saya lihat lagi, warna kostum ini memang sangat keras, tapi
efeknya akan terlihat bagus diatas panggung. Coba kalian pakai”. Akhirnya kita
semua memakai kostun tersebut dan mencoba bloking tarian dengan kostum
tersebut. Kembali ia berkata: “Ya, saya yakin, warna ini justru akan terlihat
bagus di panggung!” dan ternyata memang benar, kostum tersebut cukup terlihat ‘outstanding’
di hari kami berlomba di atas panggung.
Selang beberapa hari setelah
hari pertandingan, kami kembali membahas tentang warna kostum tersebut. Dari
situ saya banyak belajar dengan dia tentang warna, bagaimana efeknya di atas
panggung, bagaimana kita memilih warna dan menyelaraskannya dengan tariannya
yang akan kita bawakan, dan sebagainya.
Awalnya, saya tidak terpikir
sampai sejauh itu. Saya hanya terpatok pada warna apa yang bagus dan model dari
kostum yang seperti apa yang kira-kira selaras dengan warna yang saya design.
Namun dari Miss Murni lah saya mulai terbuka wawasan saya tentang
keterkaitannya satu bentuk seni dengan komposisi di dalamnya. Seperti misalnya
pada seni tari, bagaimana suatu komposisi seni tari bisa begitu selaras baik
dari segi design, warna, lagu yang akan ditarikan dan juga koreografi tarian
itu sendiri.
Berbicara tentang koreografi,
saya juga belajar banyak dari Miss Murni dan beberapa kali saya juga
mendapatkan masukan dari Kak Lily. Miss Murni membantu saya untuk membuka
wawasan saya tentang komposisi koreografi, bagaimana kita bisa menuangkan suatu
koreografi kedalam bentuk suatu tarian dan bagaimana sebuah koreografi tarian
itu bisa sangat luas penjabarannya. Contoh sebuah masukan dari beliau yang
sampai sekarang menjadi ‘panduan’ saya ketika saya mengkoreografikan sebuah
tarian adalah: “Jangan terpaku pada rutinitas, belajar melihat keluar dari
batasannya yang ada. Saya beri contoh, apakah tarian selalu harus ditarikan
oleh penari dengan menghadap ke penonton? Bisa kah kita menari dengan menghadap
ke kanan? Atau ke kiri? Atau bahkan membelakangi penonton? Atau justru sesama
penari saling berhadap-hadapan? Atau justru saling membelakangi satu sama lain?
Haruskah kita menari selalu sejajar dengan teman-teman kita di samping kita? Atau
bisa salah satu maju dan kamu yang mundur? Atau sejajar ke depan?”.
Sebagai seorang pelayan Tuhan
yang bergerak di bidang pelayanan tari, tentu saja selain mengajarkan seni dan
kreativitas dalam dunia tari, Miss Murni juga banyak memberikan saya masukan
tentang pelayangan tari, nilai-nilai seorang penari Kristen, dan bimbingan
dalam hal spriritual. Tak henti-hentinya ia selalu mengingatkan saya akan 3 hal
utama, yaitu kerendahan hati, penguasaan diri, dan penundukan diri pada
otoritas. Saya akui di awal-awal pelayanan saya di dunia tari, saya cukup keras
dan cukup vokal. Namun saya bersyukur Tuhan mempertemukan saya dengan dia. Ia
cukup sabar dalam mengontrol watak saya dan tak henti-hentinya ia memberikan
banyak perumpamaan di Alkitab yang akhirnya bisa membuat saya lebih bisa menge’rem’diri
saya sendiri.
Satu hal yang ia ajarkan yang
masih saya ingat sampai sekarang adalah hal memberikan yang terbaik, dimana ia
juga mengajarkan nilai-nilai penari Kristen. Perumpamaan yang pernah ia ajarkan
yang sampai saat ini masih saya ingat adalah: “Andai kamu saya undang ke rumah
saya untuk saya jamu makan, namun ketika kamu sampai di rumah saya, saya sedang
masih sibuk berkebun dengan tangan saya yang belepotan tanah. Lalu saya ajak
kamu masuk kerumah, dan saya siapkan makanan dengan tangan saya yang masih
belepotan tanah. Kira-kira mau ngak kamu makan makanan yang saya sediakan?
Walaupun kamu tau, makanan itu sudah saya siapkan sedemikian rupa dan dengan
ketulusan?”. Saya menginterpretasikan perumpamaan tersebut dengan kondisi para
penari Kristen yang sempat saya lihat di sekeliling saya. Dimana beberapa
penari Kristen yang kebetulan saya kenal selalu mengatas namakan Tuhan, dan
berbicara tentang hati, namun tidak pernah mau latihan, tampil menari di
kebaktian dengan rambut acak-acakan, baju berantakan, datang terlambat, dan
sebagainya tapi selalu bersembunyi dibalik kedok: “Ah, biar saja rambutku
acak-acakan, kan Tuhan melihat hati saya….biar saja bajuku acak-acakan, kan
Tuhan melihat hati…” dan seribu satu alasan yang akhirnya menjadi pembenaran
dengan mengatas namakan “Tuhan melihat hati”.
A
teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops.
~Henry Brooks Adams
GBU,
-Rivera Monarie-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar