Selasa, 29 Januari 2013

Miss Murni by: Alexander S M




Masih melekat di benak saya pertama kali saya mendaftarkan diri di Mainstream School of Arts pada tahun 1998. Awalnya saya mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas Tamborin. Saya masih ingat, pertama kali kelas saya diajarkan oleh Miss Lulu. Kemudian ditangani oleh Kak Elsye, dan sempat ditangani juga oleh Kak Lusi sampai pada tahap intermediate. Pada tahap intermediate, kelas saya beberapa kali sempat ditangani oleh Kak Lily, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala sekolah dan akhirnya ketika masuk ke tahap advance, kelas saya mulai ditangani oleh Miss Murni. Pada waktu itu juga saya sempat mengambil kelas ballet basic, yang waktu itu masih diberi nama “Worship Workshop” yang dimana pada waktu saya memasuki tahap intermediate, kelas saya juga ditangani oleh Miss Murni. 

Saya masih ingat betul perjumpaan pertama saya dengan beliau. Rambutnya terkuncir satu di belakang kepala, ia mengenakan seragam Mainstream, yaitu kaos putih yang ada lambang Mainstream School of Arts di bagian dada sebelah kanannya, dan juga leotard hitam, make-up lengkap menghiasi wajahnya yang kemudian akhirnya saya tahu bahwa hal itu merupakan ‘trade mark’ dari Miss Murni.

Awal perjumpaan saya dengan beliau, ia terkesan anggun dan keras. Membuat saya teringat akan tokoh di komik atau cerita ballet, di mana hampir selalu digambarkan bahwa guru ballet itu keras.


Tak kenal maka tak sayang, ungkapan yang tepat yang bisa saya ungkapkan sekarang apabila saya mengingat kembali kejadian itu. Setelah berjalan beberapa lama kelas kami di latih oleh beliau, barulah kami bisa melihat sisi lain darinya. Memang, beliau terkenal keras, tidak main-main, disiplin tinggi. Namun di balik itu semua, Miss Murni adalah sosok guru yang bisa menjadi panutan buat para murid-muridnya. Ia cukup detail dalam mengajarkan setiap tehnik tari kepada kami. Ditambah pengalamannya di bidang pelayanan tari yang pada saat itu sudah hampir 10 tahun, ia juga banyak membagikan ke kami murid-muridnya, pengalamannya dan nasihat-nasihatnya yang dimana nasihat-nasihat tersebut masih menjadi pegangan saya pribadi.

Dari dialah saya juga mendapat ilmu tak hanya ilmu tentang seni tari, tapi juga ilmu tentang seni itu sendiri. Dengan pengetahuannya yang didapat ketika ia kuliah di Universitas Trisakti jurusan design grafis, ia banyak mengajarkan apakah seni itu, kreativitas, bagaimana kita bisa menilai suatu seni, bagaimana kita melihat suatu kreativitas, bagaimana kita bisa memahami seni, dan sebagainya.

Salah satu contoh ilmu yang saya dapatkan darinya adalah pemahaman tentang koreografi dan composisi warna. Mungkin beberapa dari teman-teman yang pernah membaca artikel di blog saya mengenai perlombaan tari yang pernah saya dan grup yang saya ikuti pada waktu itu yang bernama: “Bunga dan Kaisar”, perlomban yang bernama: “Lomba Cipta dan Koreografi II” pada tahun 2002, dimana kami ikut di satu kategori tarian “Worship”. Saya pernah bercerita bahwa ada sedikit miskomunikasi dalam hal pembuatan kostum tersebut. Kami cukup kaget ketika kostum tersebut datang diantarkan ke kami pada pertama kalinya karena ternyata warna dari kostum tersebut tidak sesuai dengan design awal. Kami sempat panik, tapi Miss Murni hanya diam dan berfikir sejenak. Akhirnya setelah beberapa saat, ia berkat: “Jangan khawatir, kalau saya lihat lagi, warna kostum ini memang sangat keras, tapi efeknya akan terlihat bagus diatas panggung. Coba kalian pakai”. Akhirnya kita semua memakai kostun tersebut dan mencoba bloking tarian dengan kostum tersebut. Kembali ia berkata: “Ya, saya yakin, warna ini justru akan terlihat bagus di panggung!” dan ternyata memang benar, kostum tersebut cukup terlihat ‘outstanding’ di hari kami berlomba di atas panggung.

Selang beberapa hari setelah hari pertandingan, kami kembali membahas tentang warna kostum tersebut. Dari situ saya banyak belajar dengan dia tentang warna, bagaimana efeknya di atas panggung, bagaimana kita memilih warna dan menyelaraskannya dengan tariannya yang akan kita bawakan, dan sebagainya.

Awalnya, saya tidak terpikir sampai sejauh itu. Saya hanya terpatok pada warna apa yang bagus dan model dari kostum yang seperti apa yang kira-kira selaras dengan warna yang saya design. Namun dari Miss Murni lah saya mulai terbuka wawasan saya tentang keterkaitannya satu bentuk seni dengan komposisi di dalamnya. Seperti misalnya pada seni tari, bagaimana suatu komposisi seni tari bisa begitu selaras baik dari segi design, warna, lagu yang akan ditarikan dan juga koreografi tarian itu sendiri.

Berbicara tentang koreografi, saya juga belajar banyak dari Miss Murni dan beberapa kali saya juga mendapatkan masukan dari Kak Lily. Miss Murni membantu saya untuk membuka wawasan saya tentang komposisi koreografi, bagaimana kita bisa menuangkan suatu koreografi kedalam bentuk suatu tarian dan bagaimana sebuah koreografi tarian itu bisa sangat luas penjabarannya. Contoh sebuah masukan dari beliau yang sampai sekarang menjadi ‘panduan’ saya ketika saya mengkoreografikan sebuah tarian adalah: “Jangan terpaku pada rutinitas, belajar melihat keluar dari batasannya yang ada. Saya beri contoh, apakah tarian selalu harus ditarikan oleh penari dengan menghadap ke penonton? Bisa kah kita menari dengan menghadap ke kanan? Atau ke kiri? Atau bahkan membelakangi penonton? Atau justru sesama penari saling berhadap-hadapan? Atau justru saling membelakangi satu sama lain? Haruskah kita menari selalu sejajar dengan teman-teman kita di samping kita? Atau bisa salah satu maju dan kamu yang mundur? Atau sejajar ke depan?”.

Sebagai seorang pelayan Tuhan yang bergerak di bidang pelayanan tari, tentu saja selain mengajarkan seni dan kreativitas dalam dunia tari, Miss Murni juga banyak memberikan saya masukan tentang pelayangan tari, nilai-nilai seorang penari Kristen, dan bimbingan dalam hal spriritual. Tak henti-hentinya ia selalu mengingatkan saya akan 3 hal utama, yaitu kerendahan hati, penguasaan diri, dan penundukan diri pada otoritas. Saya akui di awal-awal pelayanan saya di dunia tari, saya cukup keras dan cukup vokal. Namun saya bersyukur Tuhan mempertemukan saya dengan dia. Ia cukup sabar dalam mengontrol watak saya dan tak henti-hentinya ia memberikan banyak perumpamaan di Alkitab yang akhirnya bisa membuat saya lebih bisa menge’rem’diri saya sendiri.

Satu hal yang ia ajarkan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah hal memberikan yang terbaik, dimana ia juga mengajarkan nilai-nilai penari Kristen. Perumpamaan yang pernah ia ajarkan yang sampai saat ini masih saya ingat adalah: “Andai kamu saya undang ke rumah saya untuk saya jamu makan, namun ketika kamu sampai di rumah saya, saya sedang masih sibuk berkebun dengan tangan saya yang belepotan tanah. Lalu saya ajak kamu masuk kerumah, dan saya siapkan makanan dengan tangan saya yang masih belepotan tanah. Kira-kira mau ngak kamu makan makanan yang saya sediakan? Walaupun kamu tau, makanan itu sudah saya siapkan sedemikian rupa dan dengan ketulusan?”. Saya menginterpretasikan perumpamaan tersebut dengan kondisi para penari Kristen yang sempat saya lihat di sekeliling saya. Dimana beberapa penari Kristen yang kebetulan saya kenal selalu mengatas namakan Tuhan, dan berbicara tentang hati, namun tidak pernah mau latihan, tampil menari di kebaktian dengan rambut acak-acakan, baju berantakan, datang terlambat, dan sebagainya tapi selalu bersembunyi dibalik kedok: “Ah, biar saja rambutku acak-acakan, kan Tuhan melihat hati saya….biar saja bajuku acak-acakan, kan Tuhan melihat hati…” dan seribu satu alasan yang akhirnya menjadi pembenaran dengan mengatas namakan “Tuhan melihat hati”.


A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops.  
~Henry Brooks Adams



GBU,

-Rivera Monarie-

Tidak ada komentar: